wahai engkau yang pernah
tersakiti,...
Lama kita tidak saling mengirim kabar, teramat
lama juga kita membangun luka antara sesama
kita.
Maafkanlah aku yang terus kecewa, maafkan aku
yang begitu posesif ingin melindungimu namun
aku tak pernah mengerti cara yang dewasa yang
kau anggap baik untuk melindungimu.
Maafkanlah aku yang tak pernah dewasa dalam
mengambil sikap.
Teramat lama aku ingin segera mengakhiri perang
dingin ini.
Teramat lama aku ingin kita kembali berteman
seperti dulu lagi, tanpa harus ada makian antara
aku dan kamu.
Teramat lama dan telah teramat sesak aku
menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkan
kata maaf ini. Maka maafkanlah aku.
Apakah engkau harus terus memegang kata:
tidaklah mudah untuk memaafkan.
Bukankah Tuhan saja Maha Pemaaf, namun
mengapa aku atau engkau tidak mampu
memaafkan? Sudah menjadi tuhan-tuhan kecilkah
kita?
Atau memang engkau telah memaafkan segala
kesalahanku? Namun mengapa telah terputus tali
silaturahim diantara kita?
Jangan seperti itu. Sungguh jangan seperti itu.
Janganlah begitu mudah memutuskan sesuatu
yang berat, janganlah begitu mudah membenci
sesuatu. Hal yang engkau anggap ringan itu
sebenarnya adalah sesuatu yang berat di mata
Allah. “Dan janganlah kebencianmu pada suatu
kaum membuatmu berlaku tidak adil.”
Sungguh jangan seperti itu. Janganlah engkau
seperti Yunus ketika meninggalkan kaumnya
karena kemarahannya akibat kezaliman kaumnya
dan Allah pun memperingatkan Yunus, “Maka
kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang
yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan
tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari
berbangkit. ”
Dulu kita pernah berteman baik sekali, apa yg tidak
ku sukai, kau tidak lakukan.
Dulu engkau begitu pengasih, hingga tahu betapa
aku menginginkan sesuatu dan engkaupun
memberikannya. Dulu, kita berdua begitu baik.
Dulu engkau begitu sabar, sehingga tak pernah
marah kepadaku. kau perlakukan aku layaknya
syair maidany “kaca yang berdebu” .
Namun mengapa setelah datang kebaikan, timbul
keburukan?
mengapa setelah ada cinta, timbul benci?
Sedari awal, aku telah memaafkanmu. Bahkan aku
merasa, kesalahanmu di mataku adalah akibat
salahku.
Aku yang memulai menanam angin, dan aku
melihat badai di antara kita. Badai dingin yang amat
begitu menyesakkan. Paling tidak untukku.
Jangan takut jika engkau khawatir perasaan cinta
yang dulu melekat akan kembali timbul.
Mengapa setelah habis cinta timbul beribu
kebencian.
Mengapa tidak mencoba membuka hati untuk
seteguk rasa maaf.
Jujur, bukan dirimu saja yang tersakiti, namun aku
juga.
Namun aku mencoba membuang semua sakit
yang begitu menyobek hati.
Andai engkau tahu wahai engkau yang pernah
kusakiti.
Pernahkah engkau menangis karenaku seperti aku
menangis karenamu?
Seperti aku terisak dihadapanmu. Pernahkah?
Mungkin dirimu telah menemukan seseorang yang
begitu engkau sayangi....
Seseorang yang mampu membangkitkan
hidupmu lagi, tetapi aku?
Pernahkah engkau berpikir betapa hal yang engkau
lakukan terhadapku begitu berdampak laksana
katrina.
Bahkan setelah itu aku masih memaafkanmu,
bahkan aku menunduk memintamu memaafkan
aku.
Sudah menjadi tuhan kecilkah dirimu? Bahkan
Tuhan saja memaafkan.
Tahukah wahai engkau yang pernah tersakiti,
betapa aku meneteskan air mata saat menulis ini.
Betapa aku seolah pendosa laksana iblis yang
terkutuk.
Apakah engkau mengerti apa yang kurasakan?
Mengertikah dirimu?
Tak pernah ada manusia yang luput dari suatu
kekhilafan. Tidak aku, tidak juga kamu wahai
engkau yang pernah tersakiti. Maka, bukalah pintu
maafmu itu.
Untuk surat ini, untuk kekhilafanku yang lampau,
untuk kenangan yang membuatmu sakit,
untuk segala sesuatu tentang kita, aku minta maaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar